Edisi III/MBI/III/2017    

SERTIFIKASI KHATIB

Beberapa waktu lalu, Menteri Agama RI Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin menggulirkan wacana dilakukannya sertifikasi terhadap khatib Jum’at. Wacana itu menjadi isu kontroversial di tengah panasnya suhu politik belakangan ini. Menurut Menteri Agama, perlunya sertifikasi khatib ini dengan alasan banyaknya khatib yang menyampaikan isi khutbah yang konfrontatif, mengejek bahkan menjelek-jelekkan suatu kelompok.

Sejatinya, wacana sertifikasi khotib sulit dilakukan dan kurang relevan dengan kondisi sosial umat Islam Indonesia saat ini. Sertifikasi bukan merupakan solusi bagi upaya pemerintah mencegah khatib-khatib yang berdakwah dengan suara tegas dan keras. Pemerintah seharusnya membuka saluran dialog dan mendengar keluhan dan kejengkelan umat Islam yang selama ini tersingkirkan dari arena kehidupan sosial kemasyarakatan, keumatan, kebangsaan dan kenegaraan.

Ada beberapa hal yang sebenarnya sulit untuk menerapkan sertifikasi khotib ini. Pertama, mayoritas yang

menjadi khotib di masjid adalah ulama, kyai atau ustadz di daerah tertentu. Gelar keagamaan itu bukan merupakan gelar yang diperoleh secara akademis di lembaga pendidikan formal. Gelar ulama atau kyai merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat.

Ulama, bagi masyarakat Islam—terutama di pedesaan—merupakan pemimpin kharismatik, seorang yang dianggap panutan dan mempunyai kelebihan dalam penguasaan pengetahuan tentang agama Islam. Bahkan Horikoshi (1987) berpendapat bahwa ulama telah mengabdi sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab atas proses penyebaran ajaran Islam terhadap generasi Islam selanjutnya. Mereka menguasai pendidikan Islam di madrasah, memegang kekuasaan tertinggi dalam penafsiran Al-Qur’an dan Hadist, dan sering pula muncul sebagai pemimpin sosial politik. Kondisi demikian tentu akan sulit diterima ketika pemerintah akan melakukan sertifikasi kepada mereka.

Kedua, umat Islam hari ini sedang menghadapi tantangan dakwah yang cukup besar. Jika Kementerian Agama melakukan kebijakan ini, maka hanya akan menjadi wacana yang kontraproduktif dan mengkonfirmasi asumsi negatif di kalangan umat Islam bahwa pemerintah telah salah dalam menilai para pendakwah. Pemerintah seolah menggeneralisasi bahwa apa yang disampaikan khatib selama ini tidak tepat, padahal hanya segelintir khatib saja yang demikian.

Ketiga, seperti kita ketahui bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam agama. Jika sertifikasi diterapkan kepada khotib dari agama Islam saja, maka ada kesan diskriminatif. Karena jika alasannya adalah adanya isi khutbah yang konfrontatif, maka ceramah di agama lain pun juga sama.

 

Diterbitkan oleh:

DEWAN KEMAKMURAN MASJID

BAITUL IZZAH

Sektor Melati Blok D4

Grand Depok City Depok - Jawa Barat

Dewan Kemakmuran Masjid Baitul Izzah menerima kiriman artikel/tulisan yang berkaitan dengan tema-tema keagamaan sebagai bahan renungan bagi jamaah Masjid Baitul Izzah

www.mbi-gdc.or.id email:This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

Keempat, secara politis wacana sertifikasi akan dipersepsikan sebagai alat kooptasi pemerintah terhadap pendakwah. Apalagi jika pemerintah mengatur konten khutbah yang akan disampaikan khatib. Hal ini dikhawatirkan suara khatib menjadi suara pemerintah, bukan suara yang diinginkan mereka. Lebih jauh lagi, kondisi seperti ini akan menimbulkan kesan bahwa pemerintah anti-kritik. Pemerintah sudah sewajarnya menempatkan masyarakat dan agama secara horisontal. Jangan menempatkan hubungan tersebut secara vertikal. Karena pemerintah akan beranggapan kritikan yang muncul dalam khutbah sebagai bentuk anti-pemerintah. Kritik lewat khotbah bukan berarti anti-pemerintah, tetapi kritik juga tidak boleh fitnah dan menjelek-jelekan.

Kelima, dari sisi anggaran sertifikasi khatib juga memerlukan dana yang tidak sedikit. Dari data Kementerian Agama tahun 2013 ada sekitar 292.439 masjid di Indonesia, belum termasuk langgar dan musholla. Jika masing-maisng masjid memiliki minimal 4 khotib,  maka ada 1.169.756 khotib yang harus di sertifikasi dan ini akan memerlukan dana yang sangat besar.

 

Berdasarkan uraian di atas, pemerintah semestinya tidak terburu-buru mewacanakan sertifikasi khatib. Yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi khatib, baik dari aspek materi maupun motodologi dengan pembinaan dan pelatihan melalui ormas-ormas Islam dan perguruan tinggi keagamaan Islam. Disadari atau tidak kondisi masyarakat kita tengah berubah seiring terjadinya perkembangan teknologi dan informasi. Hal ini mendorong semua orang harus beradaptasi jika ingin tetap eksis, tidak terkecuali seorang khatib dan juga da’i yang memang setiap saat aktifitasnya bergulat dengan masyarakat. Dengan demikian, hal ini akan mendorong partisipasi masyarakat dan ikut bertanggungjawab menyiapkan kader-kader dakwah yang mumpuni baik dari aspek materi maupun metodologi.***