Oleh: Mohammad Hasyim*

Bismillahirrahmanirrahim

Bagi umat Islam, idul fitri adalah hari yang sangat dimuliakan dan mengandung berkah. Pada hari itulah umat Islam merayakan kemenangan melawan hawa nafsu. Selama satu bulan penuh umat Islam berusaha tidak hanya melawan nafsu badaniah seperti makan, minum dan kebutuhan badan lainnya, tetapi terutama berusaha untuk menghindari segala macam perbuatan yang bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Dengan demikian, begitu keluar dari bulan Ramadhan, umat Islam tak ubahnya seperti dilahirkan kembali. Nabi mengilustrasikan kayaumin waladathu ummuhu, seperti bayi yang baru lahir, kembali ke fitrah, kesucian. Puasa Ramadhan yang kita laksankan sebulan penuh mengajarkan kita untuk menyayangi (rahmah) dengan memberikan cinta kasih serta hati kita untuk orang lain, tanpa berharap apapun.

Selama ini kita sering diperbudak oleh kepicikan, egoisme dan kepentingan-kerdil duniawi, baik itu untuk individu maupun kelompok, entah itu untuk kekuasaan, kekayaan, maupun jabatan. Inilah yang mengakibatkan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat ditekankan dalam agama menjadi terabaikan.

Banyak anjuran yang termuat dalam sumber ajaran Islam yang menghendaki agar umat bersatu, bersandar dalam kebersamaan, bermusyawarah yang berasaskan persamaan, keadilan dan kebenaran, saling menasehati, saling tolong-menolong dan sebagainya.

Kehidupan seperti ini pernah terwujud dalam kehidupan generasi pertama dalam masa dakwah Islamiah (zaman Nabi). Pada waktu Nabi Muhammad SAW mulai membangun masyarakat muslim di Madinah, maka ukhuwah ini menjadi salah satu pilar pembangunan umat yang sangat penting. Puncak hubungan sosial ini dapat digambarkan dalam masyarakat Islam yang pertama, yaitu persaudaraan kaum Anshor dan Muhajirin.

Persaudaraan mereka bukan hanya sekadar kolektif, tetapi juga secara individual (semacam saudara) sehingga di antara mereka dapat saling mewarisi. Di antara mereka terbentuk solidaritas sosial yang selama ini belum pernah mereka rasakan. Mereka telah mengaplikasikan nilai-nilai yang tinggi itu (ukhuwah) sehingga mereka dapat mencapai kegemilangan.

Seorang mukmin haruslah menyadari dan memahami makna tentang persaudaraan ini, sehingga mengakui orang mukmin lainnya sebagai saudaranya. Dari sini akan timbul kerja sama dan gotong royong sehingga terciptalah suatu masyarakat yang serasi dan harmonis yang pada gilirannya akan terbentuk suatu masyarakat yang ideal, yaitu sosok masyarakat yang diwarnai oleh jalinan solidaritas sosial yang tinggi dan penuh rasa persaudaraan.

Bukankah Allah SWT telah berfirman:

 أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ‌ۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ (٤٤

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab. Tidakkah kamu berpikir?” (QS. al-Baqarah, 44).

Oleh karena itu, sebagai umat tauhid yang selalu berusaha menebarkan kebajikan, kedamaian, dan keselamatan kepada seluruh umat manusia, sudah selayaknya kita memulai dari diri kita untuk membuka diri, bermurah hati, memberikan penghormatan dan penghargaan, menebarkan senyum perdamaian dan persaudaraan yang tulus dan ikhlas.

Pada akhirnya, pemaknaan Idul Fitri dengan pendekatan semacam ini memang menjadi momentum penebar kasih sayang dan ukhuwah sesama manusia agar di benak kita tidak lagi tumbuh kesan egoisme, yang menempatkan nafsu sebagai berhala. Tapi yang tumbuh adalah rasa persaudaraan dan kebersamaan, sehingga melalui momentum Idul Fitri ini kita bisa mewujudkan tatanan, sistem, dan struktur kehidupan sosial kemasyarakatan yang lebih baik dan religius. ***

*Penulis adalah Sekretaris II DKM Baitul Izzah