Oleh: Elvi Setiaji*

Bismillahirrahmannirrahim.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqaroh ayat 186:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ‌ۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ‌ۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِى وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِى لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ (١٨٦

            “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

            Hadits Abu Hurairah RA mengungkapkan: Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT berfirman: Aku adalah berdasarkan kepada sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya ketika dia mengingati-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, niscaya Aku juga akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingati-Ku dalam suatu kaum, niscaya Aku juga akan mengingatnya dalam suatu kaum yang lebih baik dari pada mereka. Apabila dia mendekati-Ku dalam jarak sejengkal, niscaya Aku akan mendekatinya dengan jarak sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, niscaya Aku akan mendekatinya dengan jarak sedepa. Apabila dia datang kepada-Ku dalam keadaan berjalan seperti biasa, niscaya Aku akan datang kepadanya dalam keadaan berlari-lari anak.” (H.R. Abu Hurairah)

            Dalam riwayat yang lain, sebuah hadist qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori RA, Nabi SAW bersabda :

            “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya dari-Ku. Tidak ada yang paling Aku cintai dari seorang hamba kecuali beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang telah Aku wajibkan kepadanya. Adapun jika hamba-Ku selalu melaksanakan perbuatan sunah, niscaya Aku akan mencintanya. Jika Aku telah mencintainya, maka (Aku) menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya, (Aku) menjadi penglihatan yang dia melihat dengannya, menjadi tangan yang dia memukul dengannya, menjadi kaki yang dia berjalan dengannya. Jika dia memohon kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan dan jika dia minta ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni, dan jika dia minta perlindungan kepada-Ku, niscaya akan Aku lindungi."

            Makna dari potongan hadits tersebut adalah bahwa seorang hamba beriman, jika dia bersungguh-sungguh kepada Allah Ta'ala dalam menjalankan perbuatan-perbuatan yang diwajibkan, kemudian dia juga melaksanakan perbuatan-perbuatan sunnah, maka Allah akan mendekat kepadanya dan mengangkat derajatnya dari derajat keimanan menjadi derajat ihsan. Artinya orang tersebut beribadah kepada Allah seakan-akan dia melihat-Nya.

            Maka ketika itu, seorang hamba tidak berucap selain untuk mengingat-Nya, tidak bergerak selain dengan perintah-Nya. Jika dia berbicara, dia berbicara dengan Allah, jika dia mendengar, dia mendengar dengan Allah. Jika dia melihat, dia melihat dengan Allah. Maksudnya dengan taufik Allah kepada-Nya dalam semua perkara tersebut. Maka dia tidak mendengar selain apa yang Allah cintai, dia tidak melihat selain apa yang Allah ridhai. Tangannya tidak memukul dan kakinya tidak berjalan selain apa yang diridhai Allah sebagai Tuhannya.

            Maknanya bukan Allah sebagai pendengarannya, Allah sebagai penglihatannya dan Allah sebagai tangan dan kakinya, Maha Suci Allah dari pemahaman tersebut, karena Allah Ta'ala berada di atas Arasy, dia Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya. Akan tetapi maksudnya adalah bahwa Dia memberi taufiq dalam pendengaran, penglihatan, jalannya dan genggamannya.

            Sabda Rasulullah: "Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah orang yang paling berguna di antara manusia. Dan perbuatan yang paling dicintai oleh Allah adalah kegembiraan yang diberikan ke dalam diri orang muslim atau menghilangkan kegelisahan dari diri mereka, membayar utang atau bebannya dan menghilangkan rasa lapar mereka. Dan, sesungguhnya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi hajatnya adalah lebih aku senangi dari pada beriktikaf di masjid selama satu bulan." (HR Thabrani)

            Pertanyaannya sekarang, sudah seberapa keraskah usaha yang kita lakukan untuk menjadikan dan mendudukan kita pada derajat ihsan? Seberapa besar pula perjuangan dan pengorbanan yang kita lakukan dan berikan untuk mendapatkan cinta-Nya? Ataukah kita belum bisa move on dan masih terjebak dengan lebih mencintai keinginan hawa nafsu kita? Masihkah kita  sering terlena, bakhil dan membanggakan diri dengan segala sesuatu yang Allah titipkan kepada kita? Waallahu a’lam..***

*Penulis adalah Ketua DKM Baitul Izzah

 

Diterbitkan oleh:

DEWAN KEMAKMURAN MASJID

BAITUL IZZAH

www.mbi-gdc.or.id email:This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.