Oleh: Elvi Setiaji*

Bismillahirrahmannirrahim.

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Anfal Ayat 2:

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُہُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتُهُ ۥ زَادَتۡہُمۡ إِيمَـٰنً۬ا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ (٢

 

            “Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah orang yang apabila disebut nama Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila diperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Allah maka makin bertabahlah keimanan mereka, dan kepada Tuhannya mereka bertawakal.”

             Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda:

 لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

 Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, tentu kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi No. 2344).

 Tawakal merupakan ibadah hati yang sangat penting kedudukannya bagi setiap individu Muslim. Begitu banyak ayat-ayat yang membicarakan tentang tawakal. Ada perintah untuk bertawakal ada pula balasan bagi orang yang bertawakal. Lalu apa hakikat tawakal itu sendiri:

             Dalam hadist yang diriwiyatkan oleh Imam Tarmidzi melalui Umar Ibnu Khottob RA, sedikit dijelaskan tentang makna tawakal yaitu diperumpamakan seperti seekor burung yang keluar dari sarangnya pada pagi hari dengan perut yang kosong kemudian burung tersebut pulang kembali pada sore hari dengan perut yang sudah teirisi atau kenyang. Artinya ada usaha yang kuat, kayakinan yang tinggi akan adanya rizki di luar sana dan ada kepasrahan yang total kepada Allah atas hasil yang akan diperolehnya. Inilah sifat ketawakalan yang ditunjukan oleh seekor burung yang dibekali oleh Allah dengan sepasang sayap.

             Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Madarujus Salikin menukil sebuah pendapat dari Abu Tubai an nakhsyabi: Tawakal adalah memaksakan anggota badan dalam ketaatan, ketergantungan hati pada rububiyah (Allah), rasa percaya kepada kifayatullah, jika diberi ia bersyukur dan jika tidak diberi maka ia bersabar.

Kemudian ditambahkan 5 langkah/inisiasi strtategis yang dapat membentuk sifat ketawakalan seseorang yaitu:

1. Beribadah menjalankan syariat yang telah digariskan dalam Al Qur’an dan Sunnah

2. Membangun dan menanamkan rasa ketergantungan hanya kepada Allah dalam berbagai aspek kehidupan

3. Senantiasa memupuk keyakinan pada adanya qodlo dan qodar dari Allah

4. Memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kecukupan yang diberikan Allah kepada kita

5. Selalu memposisikan hati dan jiwa kita tentang rasa syukur dan sabar, bukan menang atau kalah dalam menyikapi akibat dari semua ikhtiar dan interaksi sosial  yang kita lakukan

 Sikap tawakal tak mungkin timbul begitu saja, tapi memerlukan proses atau terapi yang secara terus-menerus kita bangun. Memang bukan hal yang mudah untuk dapat menumbuhkan sifat ketawakalan itu tetapi bukan juga merupakan sesuatu yang tidak mungkin.

             Selanjutnya akan muncul buah dari ketawakalan seperti yang ditulis oleh dr Yusuf Qardhawi dalam bukunya Ikhlas dan Tawakal yaitu :

 1.    Ketenanganan dan kedamaian bagi orang-orang yang senantiasa bertawakal karena Allah sudah menjamin kecukupan baginya dalam segala hal sesuai dengan firmannya dalam surat At-Thalaq:3

 2.    Kekuatan dalam menghadapi kondisi dan situasi apapun sebagaimana Nabi Ibrahim diselamatkan dari kobaran api (Hasbunallah wani’mal wakil)

 3.    Kemuliaan secara given akan diperolehnya dengan kedudukan yang tinggi di hadapan Allah dan di hadapan manusia serta ampunan dan rizki yang penuh keberkahan, surat Anfal ayat 4.

 4.    Ridhokan semua ketetapan dari-Nya tidak pernah ada kesedihan apalagi penyesalam sebagaimana nabi diselamatkan dari kejaran kafir quraisy dalam peristiwa hijrah, surat At-Taubah ayat 40.

 5.    Pengharapan yang optimistis akan pertolongan Allah kepadanya seperti ketika Nabi Musa diselamatkan dari kejaran Firaun, Asyuara : 62, dan Siti Hajar yang ditinggal bersama bayinya di makkah yang tandus waktu itu oleh Nabi Ibrahim

 Pada akhirnya buah dari ketawakalan sebagai sebuah proses akhir dari usaha dan ikhtiar yang dilakukan oleh ummat manusia akan mendapatkan kecintaan dari Allah SWT seperti yang difirmankan dalam surat  Ali Imran ayat 159. Dan itulah derajat yang paling tinggi yang akan diterima oleh umat manusia manakala Allah sudah mencintainya.***

 *Penulis adalah Ketua DKM Baitul Izzah

 

Diterbitkan oleh:

DEWAN KEMAKMURAN MASJID

BAITUL IZZAH

www.mbi-gdc.or.id email:This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.