Edisi I/MBI/XII/2017 – JUM’AT  12 RABIUL AWAL 1439 H / 1 DESEMBER 2017 M           

Oleh: Mohammad Hasyim*

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا (٢١

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(Q.S. Al-Ahzab: 21)

Nabi Muhammad SAW merupakan suri tauladan bagi setiap umat. Segala ucapan dan tindakannya menjadi rujukan umat Islam, dari dulu hingga sekarang. Haditsnya menjadi sumber hukum kedua (mashadir al-ahkam) setelah Al-Quran.

Begitu mulia kedudukan Nabi Muhammad di hadapan umat Islam, maka momen-momen penting dalam kehidupan beliau selalu dikenang, dirayakan, dan diperingati. Mulai dari kelahirannya, pengangkatannya sebagai nabi, pendakian spiritualnya berupa isra’-mi`raj hingga hijrahnya dari Mekah ke Madinah.

Begitupun hari ini, bulan Rabiul Awal (jawa: mulud) umat Islam biasanya memperingati Maulid Nabi kita tercinta. Namun sayang, dalam peringatan tersebut jarang sekali diungkap tentang peran Nabi Muhammad dalam mereformasi sistem sosial dan ekonomi umat. Pembahasan tentang tauhid menjadi dominan dalam setiap peringatan kelahiran beliau. Padahal--selain tauhid—Nabi telah berhasil mengubah tatanan sosial dan ekonomi masyarakat jahiliyah waktu itu.

Thaha Husein, sejarawan asal Mesir, dalam bukunya al-Fitnah al-Kubra mengungkapkan bahwa andai tauhid saja—minus sistem sosial dan ekonomi—tentu banyak orang Quraisy menyambut seruan Nabi Muhammad dengan mudah. Alasannya, bahwa orang Quraisy pada hakikatnya tidak secara penuh percaya berhala, juga tidak benar-benar mempertahankan “tuhan-tuhan” mereka itu.

Sejalan dengan Thaha, Muhammad Abduh dalam Risalat al-Tauhid menggambarkan tentang kekonyolan sistem ketuhanan bangsa Quraisy waktu itu. Menurutnya, masyarakat Arab pra-Islam sudah keblinger (sakhif al-‘aql). Buktinya, sebagian mereka membuat berhala dari manisan (al-halawiy) untuk dijadikan sesembahan. Lucunya, ketika lapar menghantui, mereka tidak sungkan menyantap “tuhan-tuhan” mereka.

Di atas semua itu, ada yang lebih penting yakni mengungkap nilai-nilai profetik beliau dalam bidang sosial-ekonomi. Muhammad Rasulullah, Nabi kita tercinta, adalah seorang saudagar ternama pada zamannya. Bahkan sejak usia muda, beliau dipandang sebagai saudagar sukses.

Aktivitas bisnisnya semakin memuncak ketika beliau mendapat backup dana dari sang isteri tercinta, Khadijah binti Khuwailid. Afzalurrahman dalam bukunya Muhammad as a trader mencatat bahwa Nabi Muhammad sering terlibat dalam perjalanan bisnis ke berbagai negara seperti Yaman, Oman dan Bahrain. Beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun. Dari usia ini beliau lebih banyak terlibat dalam perenungan dan perbaikan masalah sosial masyarakat sekitarnya yang jahiliyah.

Sebagai seorang calon rasul, Muhammad SAW telah menunjukkan keluhuran akhlak sejak usia belia dan ini ia terapkan dalam dunia bisnis. Oleh karena itu ia terkenal dengan julukan al-Amin. Setelah menjadi rasul, Muhammad SAW dianugerahi sifat-sifat yang mulia yang sangat kita butuhkan dalam dunia bisnis dan ekonomi.

Pada dasarnya, implementasi bisnis yang beliau lakukan berporos pada nilai-nilai tauhid yang diyakininya. Secara prinsip, Muhammad telah menjadikan empat pilar sebagai dasar transaksi ekonominya. Pertama, tauhid. Beliau memasukan tauhid di sepanjang garis vertikal baik politik, ekonomi, sosial, dan agama dari kehidupan manusia menjadi suatu kebulatan yang homogen dan konsisten.

Kedua, keseimbangan (adil). Dalam segala jenis bisnis yang dijalaninya, Nabi Muhammad Saw menjadikan nilai adil sebagai standar utama. Kedudukan dan tanggung jawab para pelaku bisnis dibangun melalui prinsip an taradhin minkum. Beliau meninggalkan tradisi riba dan memasyarakatkan kontrak mudharabah atau kontrak musyarakah (equity participation), dengan sistem profit and lost sharing.

Ketiga, kehendak bebas. Prinsip kebebasan ini tercermin dalam ekonomi Islam dengan prinsip transaksi ekonomi yang menyatakan al-ashlu fi al-mu’amalah al-ibahah, seolah mempersilahkan para pelakunya melaksanakan kegiatan ekonomi sesuai yang diinginkan, menumpahkan kreativitas, modifikasi dan ekspansi seluas dan sebesar-besarnya, bahkan transaksi bisnis dapat dilakukan dengan siapa pun secara lintas agama.

Keempat, pertanggungjawaban. Nabi Muhammad SAW mewariskan pula pilar tanggung jawab dalam kerangka dasar etika bisnisnya. Kebebasan harus diimbangi dengan pertanggungjawaban manusia, setelah menentukan daya pilih antara yang baik dan buruk, harus menjalani konsekuensi logisnya. Wujud dari etika ini adalah terbangunnya transaksi yang fair dan bertanggungjawab.***

*Penulis adalah Sekretaris II DKM Baitul Izzah 

Diterbitkan oleh:

DEWAN KEMAKMURAN MASJID

BAITUL IZZAH

Sektor Melati Blok D4

Grand Depok City

Depok - Jawa Barat

www.mbi-gdc.or.id email:This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.