Edisi I/MBI/IX/2017 – JUM’AT 10 DZUL-HIJJAH 1438 H/1 SEPTEMBER 2017 M

HAJI DAN KESETARAAN MANUSIA

Oleh: Mohammad Hasyim*

Ibadah haji merupakan perintah Allah SWT yang diserukan kepada seluruh umat Muslim di dunia. Perintah ini bukan tanpa makna. Ada rahasia tersembunyi dan hanya dapat dipahami oleh mereka yang mau mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya, meskipun penciptaan manusia hanya untuk sebuah tujuan, yakni pengabdian kepada Allah SWT.

Perintah haji diserukan Allah SWT dalam surat Al-Hajj Ayat 27:

وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالاً۬ وَعَلَىٰ ڪُلِّ ضَامِرٍ۬ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ۬ (٢٧

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”

Ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima, pelaksanaannya penuh dengan simbol-simbol yang sarat-nilai dan dapat dijadikan pelajaran moral bagi mereka yang telah menunaikannya. Artinya mereka yang telah menunaikan ibadah haji dapat memberikan makna bagi perjalanan ritual yang telah dilakukannya.

Penanggalan pakaian biasa yang penuh perbedaan menjadi pakaian ihram tentu memiliki makna bahwa pada hakikatnya manusia dalam pandangan Allah adalah sama. Tiada yang membedakan kedudukan mereka dalam pandangan Allah kecuali derajat dan tingkat ketaqwaan mereka. Dari kelas dan golongan manapun manusia, semua mengenakan pakaian yang seragam dengan warna yang sama.

Tanpa mengenakan pakaian ihram, setiap orang dapat dinilai secara langsung tingkatan sosialnya, yakni perbedaan yang mencolok antara pakaian masyarakat kelas atas dan kelas bawah, antara pakaian pejabat dan pakaian rakyat, karena sejatinya pakaian dapat melahirkan perbedaan.

Pakaian melambangkan status sosial seseorang, di samping juga dapat memberikan pengaruh secara psikologis kepada pemakainya.

Maka sekembalinya dari tanah suci, masihkah seseorang mengenakan "pakaian biasa" dengan lambang dan status sosialnya?

Sungguh suatu hal yang naif apabila seseorang yang telah menanggalkan pakaian kebesarannya dan menggantikannya dengan pakaian ihram akan kembali melupakan pakaian sejatinya yang pernah dia pakai selama menunaikan ibadah haji.

Senada dengan hal di atas, dalam kesempatan haji wada’, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاُس، إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلاَ لأَحْمَرَ عَلىَ أَسْوَدَ، وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

“Ingatlah bahwa Rabb kalian itu satu, dan bapak kalian juga satu. Dan ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang ajam (non-Arab), tidak pula orang ajam atas orang Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak pula orang berkulit hitam di atas orang berkulit merah; kecuali atas dasar ketakwaan.”

Ritual ini memiliki makna yang begitu dalam bahwa kita dituntut untuk bersikap egaliter, menganggap semua manusia sama dalam hal apapun sehingga bisa berlaku adil. Apabila tidak berlaku adil, misalnya berlaku diskriminatif terhadap orang lain, maka hal itu sama saja dengan mengingkari amanah dari Allah SWT.

Selain pakaian, hal lain yang menjadi simbol dari sebuah perjalanan haji yang dapat mengantarkan seseorang memahami betapa besar makna yang terkandung dalam ritual ibadah haji adalah kesalehan. Idealnya, seluruh prosesi pelaksanaan ibadah haji yang telah dilakukan oleh seseorang justru akan menghantarkannya kepada kesalehan, baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial.

Banyak ulama berpendapat, “Ketika engkau membersihkan diri di Miqat, maka maksudnya adalah bahwa engkau menyucikan diri dari kemunafikan dan riya, bukan hanya membersihkan dan menyucikan badan, sebab itu merupakan tanda dan simbol kesucian hati. Di saat engkau melakukan ihram, maka maknanya adalah bahwa apapun yang Allah haramkan bagimu, maka engkau harus mengharamkannya kepada dirimu sendiri dan engkau (juga harus) berjanji untuk tidak pernah melanggar batasan haram (tersebut).”

Semoga kita dapat mengambil pelajaran dan nilai sosial dari ibadah haji ini, sehingga kita tidak lagi terjebak pada egoisme yang dibatasi oleh status sosial yang penuh dengan kepalsuan sekaligus tidak lagi merendahkan manusia karena kita semua adalah sama, yakni hamba-hamba Allah SWT. Wallahu A’lam.***

 

 

*Penulis Adalah Sekretaris II DKM Baitul Izzah

 

 

Diterbitkan oleh:

DEWAN KEMAKMURAN MASJID

BAITUL IZZAH

http://mbi-gdc.or.id/images/Logo%20Mesjid.png

Sektor Melati Blok D4

Grand Depok City

Depok - Jawa Barat

www.mbi-gdc.or.id email:This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Dewan Kemakmuran Masjid Baitul Izzah menerima kiriman artikel/tulisan yang berkaitan dengan tema-tema keagamaan sebagai bahan renungan bagi jamaah Masjid Baitul Izzah