Edisi V/MBI/VI/2017

IDUL FITRI, SETELAH ITU APA?

Rasulullah SAW dalam sebuah hadits bersabda, Betapa banyak orang puasa, tetapi tidak mendapatkan hikmah sedikitpun dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga saja. Dalam konteks hadits ini, Rasul mengajak kita untuk melakukan evaluasi terhadap rangkaian ibadah yang telah kita lakukan selama ramadhan serta  mencari sebab kegagalan puasa yang kita laksanakan.

Pada momentum Idul Fitri 1438 H ini,  umat Islam sejatinya merayakan kemenangan melawan hawa nafsu. Karena selama satu bulan penuh umat Islam berusaha tidak hanya melawan nafsu badaniah tetapi berusaha untuk menghindari segala macam perbuatan yang bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain. Artinya begitu keluar dari bulan Ramadhan, umat Islam tak ubahnya seperti dilahirkan kembali. Nabi mengilustrasikan kayaumin waladathu ummuhu, seperti bayi yang baru lahir, kembali ke fitrah.

Karena itu, Idul Fitri merupakan momentum yang sangat tepat untuk napak-tilas guna menemukan jati-diri kemanusiaan kita yang hakiki. Kita telah melakukan penempaan diri dengan berpuasa selama satu bulan penuh. Menahan nafsu dan gejolak jiwa, mendawamkan al-Qur’an bagi penelusuran maknanya guna menemukan titah Allah, bermunajat dan shalat di malam hari, bersedekah, menyantuni anak yatim, berwasiat tentang kebenaran (al-haq) dan kesabaran (al-shabr), dan amal shaleh lain. Berbagai aktifitas tersebut semestinya membawa kita kepada pemaknaan hidup yang lebih sejati.

Lantas, apa yang harus kita lakukan selanjutnya? Ibda’ binafsik. Mulailah dari diri kita, dengan diri kita, bagi diri kita. Bukankah Allah SWT. telah berfirman: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab. Tidakkah kamu berpikir?” (QS. al-Baqarah, 2: 44).

Kewajiban kita sekarang adalah menjaga keistiqamahan dengan melanjutkan semangat amaliah Ramadhan sebagai bukti taqwa kita. Karena keberhasilan riyadhoh amaliyah bulan Ramadhan ditentukan keistiqamahan kita pasca Ramadhan pada hari-hari kehidupan kita selanjutnya.

Maka mari kita jaga dan pertahankan hikmah idul fitri  ini, sebagai bukti taqwa dan sekaligus wujud syukur yang telah kita raih melalui seluruh amaliah Ramadhan yang baru saja berlalu. Karena puasa bukanlah sekedar menunaikan rukun formal, tetapi dalam konteks yang lebih luas, puasa merupakan upaya pengendalian diri dari seluruh kecenderungan sifat dan perilaku yang negatif.

Kegagalan meraih makna dan hakikat Ramadhan, tentunya membuat kita kehilangan keistimewaan ramadhan itu sendiri. Bulan Ramadhan menjadi tidak ada bedanya dengan bulan-bulan yang lain. Bulan Ramadhan menjadi istimewa karena bulan tersebut memberikan kesempatan kepada kita untuk mengistimewakan nurani dan fitrah kita sebagai seorang manusia. Kesucian ramadhan sangat bergantung pada bagaimana seseorang berupaya menyucikan dirinya dalam ragam “penyucian diri” selama Ramadhan. Oleh karena itu di bulan Ramadhan kita dianjurkan untuk memperbanyak berbagai amal shaleh agar menjadi orang yang takwa sebagai perwujudan  mukmin yang sejati (Q.S. Al-Baqarah, 2: 287).

Takwa dalam Islam terekspresi menjadi dua hal fundamental. Pertama, sebagai seorang `abd (hamba) sebagaimana firman Allah, “tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S. al-Dzariyat, 27: 56). Kedua, sebagai khalifatullah, wakil Allah di muka bumi sebagaimana firman-Nya, “sesungguhnya Aku menciptakan di bumi seorang khalifah (pengganti, wakil)” (Q.S. al-Baqarah, 2: 30).

Tidak semua orang mampu memadukan dua tugas mulia tersebut dalam kehidupannya. Kenyataan membuktikan, dimensi khalifah terputus dalam kehidupan publik. Mayoritas umat cenderung membatasi diri sebagai `abd (hamba Allah). Hal demikian mungkin disebabkan kurangnya pemahaman, miskin keteladanan atau lingkungan yang tidak kondusif. Akibatnya, kesalehan hanya diukur dengan intensitas hubungan dengan al-Khaliq semata.

Kecenderungan ini bukannya negatif, namun perlu disempurnakan. Membangun peradaban Islam masa depan tidak mungkin hanya dengan mengandalkan dimensi `abd saja. Mukmin yang sejati harus bisa memadukan dengan seimbang antara dimensi ‘abd dan khalifah dengan enam indikator sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an:

 Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna dan orang yang menunaikan zakat, dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya, serta orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya” (Q.S. al-Mukminun, 18: 1-11).**

 

 

Diterbitkan oleh:

DEWAN KEMAKMURAN MASJID

BAITUL IZZAH

Sektor Melati Blok D4

Grand Depok CityDepok - Jawa Barat

www.mbi-gdc.or.id email:This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.