Edisi IV/MBI/VI/2017

HIKMAH IDUL FITRI

Idul fitri sering diartikan kembali kepada fitrah, kembali kepada kesucian. Pada hari itulah umat Islam merayakan kemenangan melawan hawa nafsu. Selama satu bulan penuh umat Islam berusaha untuk tidak hanya melawan nafsu badaniah seperti makan, minum dan kebutuhan biologis lainnya, tetapi terutama berusaha untuk menghindari segala macam perbuatan yang bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain. Maka begitu keluar dari bulan suci Ramadhan, umat Islam tak ubahnya seperti dilahirkan kembali. Nabi Muhammad SAW mengilustrasikan kayaumin waladathu ummuhu, seperti bayi yang baru lahir, kembali ke fitrah, kembali ke kesucian.

Namun yang perlu menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita menyikapi datangnya Idul Fitri. Sudah benarkah cara kita selama ini dalam memaknai, menyambut dan merayakan Idul Fitri? Ini yang harus selalu menjadi bahan pemikiran dan muhasabah kita setiap saat, khususnya setiap kali kita berjumpa dengan Idul Fitri.

Idul fitri yang juga biasa disebut hari Lebaran sering dipelesetkan menjadi hari bubaran dengan arti: bubar puasanya, bubar pula tadarusnya, bubar shodaqohnya dan seterusnya. Artinya selesai Ramadhan-nya berarti selesai pula ketaatannya. Sementara itu diantara masyarakat kita ada yang memaknai dan memahami Hari Raya Lebaran ini hampir identik dengan segala yang serba baru; baju baru, celana baru, jilbab baru, dan lain-lain yang serba baru. Bahkan ada juga sebagian masyarakat kita yang tidak memahami hari raya Idul Fitri melainkan sekadar sebagai ajang pesta kembang api dan menyalakan petasan.

Jika demikian, benarlah apa yang pernah dituturkan oleh Nabi kita, Betapa banyak orang puasa, tetapi tidak mendapatkan hikmah sedikitpun dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga saja. Dalam konteks inilah kita perlu melakukan evaluasi terhadap rangkaian ibadah yang telah kita lakukan selama Ramadhan serta  mencari sebab kegagalan puasa yang kita laksanakan.

Sebetulnya jika benar-benar dioptimalkan, maka Ramadhan dengan segala amaliah istimewanya adalah salah satu momentum terbaik bagi peleburan dosa dan penghapusan noda yang mengotori hati dan jiwa kita serta membebani diri kita selama ini. Sebagaimana sabda Nabi: “Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala (dan ridha Allah), maka niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Muttafaq ‘alaih). Dalam beberapa hadits juga dikatakan: “…bersih/suci bagaikan bayi yang baru dilahirkan”. Dengan Rahman dan Rahim-Nya, Allah mengampuni semua dosa hamba-Nya. Yang tersisa tinggallah dosa sesama manusia. Untuk menghapus dosa ini tentu tidak cukup dengan memohon ampun kepada Allah SWT. Allah memerintahkan kita untuk meminta maaf dan memberi maaf kepada sesama manusia. Karena dalam menjalani hidup, kita tentunya teramat sering menuruti hawa nafsu dan menyakiti orang lain demi untuk mencapai ambisi-ambisi ekonomi, politik dan hal-hal keduniawian lainnya.

Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk saling memaafkan. Saling memaafkan inipun merupakan salah satu ciri orang-orang yang bertaqwa sebagaimana juga yang dicita-citakan dalam ibadah puasa. Allah SWT berfirman: “Dan memberi maaf itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Baqarah: 237). Dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS. Ali Imran: 132-133).

Kewajiban kita sekarang, di Hari Raya Idul Fitri 1438 H ini adalah menjaga keistiqamahan dengan melanjutkan amaliah ramadhan yang telah kita lakukan. Kita telah melakukan penempaan diri dengan berpuasa selama satu bulan penuh. Menahan nafsu dan gejolak jiwa, men-dawam-kan al-Qur’an bagi penelusuran maknanya demi menemukan titah Allah, bermunajat dan shalat di malam hari, sedekah, menyantuni anak yatim, berwasiat tentang kebenaran (al-haq) dan kesabaran (al-shabr), saling maaf-memaafkan dan amal shaleh lain sebagai bukti taqwa kita. Karena keberhasilan riyadhoh amaliyah bulan Ramadhan ditentukan dengan keistiqamahan kita pasca Ramadhan pada hari-hari kehidupan kita selanjutnya. Sungguh bijak seorang penyair Arab yang berkata: Laisa al-'iidu man labisa al-jadid Walakin al-'iid man tho'atuhu yaziid. Hari Raya bukanlah ditandai dengan pakaian baru, tetapi hakikat hari raya adalah siapa yang ketaatannya bertambah maju.

 

Maka mari kita jaga dan pertahankan keistiqomahan kita sebagai bukti taqwa dan sekaligus wujud syukur atas nikmat yang telah kita raih melalui seluruh amaliah Ramadhan yang akan segera berlalu. Karena puasa bukanlah sekadar menunaikan rukun formal, tetapi dalam konteks yang lebih luas, puasa merupakan upaya pengendalian diri dari seluruh kecenderungan sifat dan perilaku yang negatif untuk mewujudkan insan muttaqin, yakni sosok manusia paripurna.***

 

Diterbitkan oleh:

DEWAN KEMAKMURAN MASJID

BAITUL IZZAH

Sektor Melati Blok D4

Grand Depok CityDepok - Jawa Barat

www.mbi-gdc.or.id email:This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.