Edisi IV/MBI/III/2017 

MEMAKNAI KETURUNAN

Dalam Islam, memperoleh keturunan merupakan hal yang sangat penting. Demikian pentingnya masalah ini sehingga Al-Ghazali memasukkannya sebagai salah satu prinsip dasar yang harus dilindungi dan diberi jaminan bahwa setiap orang memiliki peluang yang sama untuk memperoleh keturunan. Itulah sebabnya, pernikahan sebagai media yang sah untuk memperoleh keturunan mendapat perhatian yang cukup besar dalam Islam.

Masalah pernikahan bahkan menjadi tema khusus dalam kitab-kitab fiqh klasik di bawah judul fiqh munakahat (fiqh pernikahan). Hampir setiap kitab fiqh selalu memberi tempat bagi pembahasan mengenai masalah ini. Perhatian yang sedemikian besar terhadap pengaturan masalah penikahan dalam Islam menunjukkan betapa seriusnya masalah memperoleh keturunan. Sebab, melalui lembaga inilah kelangsungan hidup manusia dipertaruhkan.

            Dalam Islam dikenal adanya maqashid al-syari’ah (tujuan penetapan hukum Islam) yang terdiri dari lima prinsip dasar. Kelima prinsip tersebut adalah memelihara agama (hifzdh al-din), memelihara jiwa (hifzdh al-nafs), memelihara akal (hifzdh al-‘aql), memelihara keturunan (hifzdh al-nasl) dan memelihara harta benda (hifzdh al-mal). Dalam satu segi, maqashid al-syari’ah adalah kewajiban. Artinya, setiap muslim diperintahkan untuk memelihara, melindungi dan menjamin terlaksananya lima hal di atas. Tapi, dalam segi yang lain, maqashid al-syari’ah sekaligus mengandung dimensi hak. Artinya, setiap orang berhak untuk memperoleh jaminan terhadap lima hal di atas.

            Itulah sebabnya, mengupayakan generasi berkualitas (hifzdh al-nasl) sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah tidak hanya mengandung perintah yang mewajibkan setiap muslim untuk memelihara keturunannya, tetapi juga harus ada jaminan bahwa setiap orang berhak untuk mendapat jaminan keturunan guna melanjutkan proses kehidupan bagi generasi selanjutnya.

            Dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadits disebutkan bahwa keturunan yang banyak merupakan kelebihan tersendiri. Dalam tradisi masyarakat Arab pada masa Nabi, mereka tidak hanya menyombongkan diri dengan harta, tapi juga dengan anak keturunan, seperti direkam dalam al-Qur’an:

وَقَالُواْ نَحۡنُ أَڪۡثَرُ أَمۡوَٲلاً۬ وَأَوۡلَـٰدً۬ا وَمَا نَحۡنُ بِمُعَذَّبِينَ (٣٥

 “Dan mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab.” (daripada kamu) (Q.S. Saba’: 35).

Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan, “Kawinlah dan berketurunanlah banyak-banyak. Sesungguhnya kelak aku akan membanggakan dengan jumlah kalian yang banyak kepada umat-umat yang lain.” Dalam hadits lain yang diriwayatkan Ahmad, dinyatakan, “Kawinilah perempuan yang pandai mencinta dan memberi banyak anak.”

            Nash di atas menunjukkan betapa pentingnya memperoleh keturunan. Tidak sekadar memperoleh keturunan, tapi yang lebih penting lagi, menurut nash di atas, adalah memperoleh keturunan yang banyak. Namun nash di atas perlu dilihat secara lebih luas. Karena, dalam banyak hal, pendirian Nabi sebetulnya cenderung lebih menekankan kualitas ketimbang kuantitas. Jumlah memang penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah kualitas dari jumlah itu. Inilah yang secara tersirat disinggung oleh sebuah hadits Nabi:

“Hampir saja umat-umat lain memperlakukan kalian seperti ulat memperlakukan dedaunan,” kata Nabi.

“Apakah karena kita waktu itu sedikit jumlahnya? tanya seorang sahabat.

“Tidak sama sekali,” jawab Nabi. “Bahkan jumlah kalian waktu itu sangat banyak, akan tetapi tak ubahnya seperti buih belaka. Dan Allah pun mencabut wibawa kalian di mata musuh-musuh kalian. Bahkan kalian merasakan wahn dalam hati kalian.”

Apa itu wahn, wahai Nabi?

“Wahn adalah gila harta dan takut mati,” jawab Nabi.

Hadits ini memang secara tersurat mengecam wahn. Tetapi, secara tersirat, hadits ini juga menegaskan betapa kualitas jauh lebih penting ketimbang kuantitas. Jumlah yang banyak menjadi tidak ada artinya jika tidak diimbangi kualitas yang memadai.

Itulah sebabnya, hifzdh al-nasl sebagai salah satu prinsip dasar dari maqashid syari’ah harus lebih dipahami dalam pengertian mengupayakan keturunan yang berkualitas, bukan semata-mata memberi jaminan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh keturunan apalagi sekadar keturunan banyak.***

  

 

 

Diterbitkan oleh:

DEWAN KEMAKMURAN MASJID

BAITUL IZZAH

 

Sektor Melati Blok D4

Grand Depok CityDepok - Jawa Barat

Dewan Kemakmuran Masjid Baitul Izzah menerima kiriman artikel/tulisan yang berkaitan dengan tema-tema keagamaan sebagai bahan renungan bagi jamaah Masjid Baitul Izzah

www.mbi-gdc.or.id email:This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.