Oleh: Mohammad Hasyim, M.Si dan Rizal Muttaqin, MA

 

Eksistensi dakwah dalam Islam menduduki posisi yang strategis. Dakwah berfungsi sebagai upaya rekontruksi masyarakat Muslim sesuai dengan cita-cita sosial Islam melalui pelembagaan ajaran Islam sebagai rahmat sejagat (rahmatan lil ‘alamin). Sosialisasi Islam melalui dakwah diharapkan akan memungkin proses islamisasi  nilai-nilai sehingga dihayati dan diamalkan  dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara untuk kebahagiaan  manusia dunia dan akhirat. Pemahaman yang demikian

menempatkan dakwah sebagai program besar dan penting atau azmil umur (Q.S. Luqman:17). Oleh karena itu, aktivitas dakwah menunutut keterlibatan semua umat Islam dalam berbagai profesi dan keahlian, termasuk para penguasa dan politikus.

Sejarah mencatat bahwa Islam pernah berhasil membangun  peradaban besar yang diakui oleh dunia dan Islam mampu menjadi kekuatan dunia tidak terlepas dari pengaruh dakwah dan politik. Peradaban Islam dari zaman Nabi Muhammad Saw. sampai hari ini tidak dapat dipisahkan dari dua hal tersebut. Dapat dikatakan bahwa maju dan mundurnya masyarakat Islam sangat dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya dakwah dan politik Islam. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah Islam, persoalan  dakwah dan politik telah menjadi perhatian serius. Sebahagian ulama menganggap bahwa dakwah dan politik tidak boleh dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Islam, sedangkan yang lain berpandangan bahwa dakwah dan politik adalah hal sangat berlawanan dan tidak boleh dicampur-adukkan satu dengan lainnya.

Perbedaan pandangan tersebut masih sering kali kita jumpai di tengah-tengah masyarakat hingga saat ini. Pendapat, pikiran dan prasangka negatif ditujukan khususnya kepada politik yang dianggap sesuatu yang tidak banyak memberikan kemaslahatan ditengah-tengah masyarakat. Pada sisi lain dakwah diposisikan sebagai kegiatan suci yang merupakan warisan para nabi dan tidak boleh bercampur baur dengan politik. Fenomena tersebut sudah sekian lama tertanam dalam benak masyarakat kita, sehingga sangat tepat jika Hasan Al Banna mengungkapkan bahwa sedikit sekali orang berbicara tentang politik dan Islam, kecuali ia memisahkan antara keduanya dan diletakkan masing-masing secara independen. Keduanya tidak mungkin bersatu dan dipertemukan. Pada sisi lain sebahagian organisasi Islam yang bergerak dalam aktivitas dakwah dengan tegas mencatumkan bahwa organisasi tersebut tidak berpolitik. Namun dalam prakteknya selalu bersentuhan dan berdimensi politik.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa sebahagian masyarakat kurang memamahi hubungan fungsional antara dakwah dan politik dalam ranah keagamaan. Umumnya masyarakat  menganggap bahwa dakwah tidak boleh dicampuri oleh politik, dan politik tidak boleh mengatasnamakan dakwah. Diskursus tersebut terkesan bahwa politik merupakan sebuah sesuatu yang kotor, penuh kemunafikan, tipu muslihat, kelicikan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tokoh-tokoh politik hanya dekat dengan rakyat menjelang pemilihan umum (PEMILU). Sementara dakwah diposisikan sebagai kegiatan mulia untuk memberikan petunjuk kehidupan sesuai dengan tuntunan agama, sehingga dakwah tidak dapat disandingkan dengan politik.

Pemahaman seperti itu adalah sesuatu yang wajar karena didasarkan pada pengalaman yang ada. Secara realitas pentas politik memang selalu diwarnai dengan tontonan yang bersifat negatif dalam pandangan masyarakat. Sementara  aktivitas dan topik dakwah tidak banyak menyentuh ranah politik. Dakwah lebih banyak membicara aspek ibadah, halal-haram dan syurga-neraka, kalau bukan hal-hal yang bersifat khilafiyah dan  perbedaan paham dalam beribadah. Dakwah dalam buhungannya dengan aspek politik cenderung terabaikan. Sedangkan Islam sebagaimana yang telah disebutkan di atas merupakan ajaran universal yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia.

Sesungguhnya dakwah dan politik dalam praktek kehidupan sosial harus dipahami dan digambarkan bagaikan dua sisi mata uang. Satu sama lain saling melengkapi, tidaklah dianggap sempurna apabila satu diantaranya tidak ada. Artinya bahwa dakwah dan politik itu tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan.

 

Hakikat Dakwah

Makna kata dakwah yang berarti menyeru. Menyeru di sini ditujukan untuk menyeru manusia untuk melakukan penyembahan hanya kepada Allah. Makna kata dakwah ini merupakan implikasi dari hakikat Islam yang berarti pasrah berserah diri hanya kepada Allah. Setiap orang yang mengaku dirinya sebagai seorang yang mengakui kebenaran Islam (muslim), memiliki kewajiban yang sama untuk berdakwah, di mana pun dan kapan pun.

Dakwah dalam tafsir surah al-Ashr merupakan bagian dari jalan keselamatan bagi setiap mukmin. Bahwasanya dalam perjalanan waktu kehidupan manusia, semuanya akan merugi. Namun, ada pengecualian dari kelompok orang yang merugi itu, yakni orang-orang yang senantiasa beriman, beramal shalih, dan berdakwah (tawaashau bil haq wa tawaashau bishshobr).

Di sini tampak bahwa keimanan dan amal shalih seseorang belum akan memberikan jaminan keselamatan baginya, kecuali keyakinan akan iman dan kontribusi amal shalih tersebut ditindaklanjuti dengan mengajak orang lain (berdakwah) untuk bersama-sama beriman sebagai seorang muslim dan bersama-sama melakukan amal-amal shalih.

Dalam sebuah hadits qudsi pun terdapat kisah tentang azab bagi suatu kaum yang di dalamnya terdapat orang yang sangat beriman dan senantiasa beramal shalih. Dalam redaksi hadits tersebut Allah memerintahkan malaikat untuk mengazab suatu kaum. Setibanya malaikat itu kepada kaum tersebut, sang malaikat terkejut karena terdapat seorang alim di antara kaum itu.

Logika malaikat itu bertanya-tanya, bagaimana mungkin ia akan mengazab suatu kaum yang di dalamnya masih terdapat orang yang alim lagi gemar beribadah. Allah justru mengatakan kepada sang malaikat, justru seharusnya azab itu dimulai dari sang orang alim tersebut. Karena ia hanya menikmati keimanan dan amal shalih untuk dirinya, sementara ia melalaikan amanah dakwah terhadap kaumnya, hingga kaumnya tersesat.

Dua argumentasi nash tersebut seakan mendasarkan bagi pentingnya aktifitas dakwah bagi setiap yang mengaku dirinya seorang muslim. Dalam pemahaman ini, seorang muslim lah yang membutuhkan aktifitas dakwah sebagai jalan keselamatan, dan bukan sebaliknya. Seorang muslim yang tidak berdakwah, jika mengacu dalam tafsir surah al-Ashr bisa jadi belum tentu akan selamat penuh sebagaimana juga diungkap dalam hadits qudsi tersebut.

 

Hakikat Siyasah (Politik)

Secara sederhana, kata siyasah dimaknai sebagai politik. Jika kita teliti dengan cermat, memang tidak dijumpai penggunaan kata siyasah dalam Al Qur’an maupun Hadits yang maknanya politik, namun ada banyak konteks yang menunjukkan ketepatan pemaknaan tersebut.

Dalam terminologi Arab, secara umum dipahami bahwa kata siyasah berasal dari kata saasa-yasuusu-siyaasah yang berarti arri’ayah (kepengurusan). Jika dikatakan saasa al-amr berarti qaama bihi (menangani urusan). Syarat bahwa seseorang berpolitik dalam konteks ini adalah ia melakukan sesuatu yang membawa maslahat, bagi jamaah atau sekumpulan orang.

Sedangkan secara istilah, ditemukan sangat banyak definisi tentang siyasah atau politik, dimana keseluruhannya bisa saling melengkapi. Di antara makna siyasah yang penting adalah:

1.      Seni mengatur pemerintahan

Politik tidak identik dengan pemerintahan. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu bagian penting politik adalah pemerintahan. Rifa’ah Ath Thahthawi mendefinisikan politik sebagai seni mengatur pemerintahan dan berbagai hal yang terkait dengannya.

“Kajian tentang ilmu ini, perbincangannya, diskusi tentangnya di berbagai forum dan tempat pertemuan, menyelami arusnya, semua itu dinamakan politik. Aktivis di bidang ini disebut politikus. Maka politik berarti segala sesuatu yang bersentuhan dengan pemerintahan, hukum-hukum serta berbagai hal yang berkaitan dengannya”, demikian penjelasan Rifa’ah.

                                     

2.      Seni mengelola perubahan

Politik juga bisa dimaknai sebagai seni mengelola perubahan. Malik bin Nabi memberikan gambaran bahwa politik adalah “aktivitas yang terorganisir dan efektif yang dilakukan oleh umat secara keseluruhan –negara dan masyarakat – yangsejalan dengan ideologi mayoritas rakyatnya, dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan saling bantu antara pemerintah dan individu dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya; agar politik memberikan pengaruhnya yang kongkret pada realitas sosial, yang membawa pada perubahan bingkai kultur dalam sebuah orientasi yang akan menumbuhkan kecerdasan baru secara harmonis”.

Dalam pandangan itu, politik pada akhirnya adalah “penciptaan kultur”;  yang oleh karena itu, dalam pandangan Malik bin Nabi, aktivitas membangun taman di kota Kairo juga berarti aktivitas politik. Zaki Najib Mahmud berpendapat bahwa politik adalah “melihat bagaimana kondisi tempat kita hidup ini mengalami perubahan” atau upaya mengubah realitas sosial. Politik berarti bahwa kita menciptakan perubahan untuk mereka dan kita menjadikan mereka bisa melakukan perubahan tersebut untuk diri mereka sendiri.

 

3.      Upaya merealisasikan kebaikan

Dalam perspektif Aristoteles dan para filosof Yunani pada umumnya, politik dimaknai sebagai segala sesuatu yang sifatnya dapat merealisasikan kebaikan di tengah masyarakat.

Imam Syafi’i memberi definisi bahwa politik adalah hal-hal yang bersesuaian dengan syara’. Pengertian ini dijelaskan oleh Ibnu Aqil bahwa politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih menjauhkan dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rasulullah saw atau dibawa oleh wahyu Allah Ta’ala.

 

4.      Kepedulian terhadap urusan umat

Selanjutnya politik bisa dimaknai secara lebih luas sebagai kepedulian terhadap berbagai dinamika dan persoalan umat. Hasan Al Banna menyebutkan politik adalah “hal memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat”. Yang dimaksud dengan internal adalah “mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritisi jika mereka melakukan kekeliruan”.

Sedangkan sisi eksternal politik dalam wacana Al Banna adalah “memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, menghantarkannya mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusannya”. Karena persepsi semacam inilah Al Banna dengan tegas mengatakan, “Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsa”.

Dari berbagai pengertian tersebut dipahami bahwa cakupan aktivitas politik itu luas. Sejak dari aktivitas individual yang memproses perubahan, sampai aktivitas kolektif dalam partai politik atau dalam urusan pemerintahan. Keseluruhannya masuk wilayah pengertian politik. Dengan pengertian seperti ini, tampak bahwa siyasah termasuk salah satu tugas kerasulan yang penting, sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan (Q.S. Al-Hadid: 25).

 

Intergrasi Dakwah dan Politik

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, telah memberikan gambaran secara jelas bahwa politik mempunyai tempat yang istimewa dalam Islam. Islam sebagai ajaran universal dengan jelas dan tegas tidak memisahkan masalah keduniaan dan keagamaan dengan politik. Bahkan politik dianggap sebagai wasilah atau jalan untuk meninggikan agama dan dakwah di tengah-tengah masyarakat. Hal ini juga senada dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Al Mawardi, politik harus digunakan untuk tujuan dan kepentingan agama atau dakwah.

Politik (siyasah) pada umumnya bermaksud sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan dan cara menggunakannya. Kekuasaan terwujud apabila terdapat lembaga, yaitu negara sebagai wadah untuk menjalankan kekuasaan. Politik dalam tradisi Islam mempunyai hubungan yang erat dengan manajemen pemerintahan dalam mengurus kepentingan masyarakat dan membawa  mereka kepada kemaslahatan dan menjauhkannya dari kemudaratan. Jadi sebenarnya tujuan politik sejalan  dengan dakwah. Namun dalam prakteknya, politik terkadang menggunakan atau memperalatkan agama bagi kepentingan  politik. Hakikatnya, menurut konsep Islam, politiklah yang sepatutnya menjadi alat untuk mengembangkan dan mensukseskan dakwah.  Menurut Ali Sodiqin bahwa strategi penyampaian dakwah tidak dapat dilepaskan dari upaya membangun kekuatan politik umat Islam dan antara kekuatan politik dan penyebaran agama menyatu dan bersinergi.

Salah satu bentuk politik dalam dakwah dapat dilihat melalui hubungan erat di antara ulama dan penguasa atau pemerintah. Idealnya hubungan keduanya bersifat timbal balik dan saling menguntungkan kedua  belah pihak dalam konteks dakwah dan politik. Penguasa memberikan tempat kepada ulama, sebaliknya ulama memberikan legitimasi keagamaan kepada penguasa. Kondisi ini sebenarnya telah terjadi sepanjang sejarah Islam.

Politik Islam menyumbang wacana pemikiran yang menyangkut simbiosisme agama dan politik. Pemikiran pra-moden cenderung di bawah arahan politik ke dalam agama, dan paradigma moden sebaliknya, yaitu di bawah arahan agama ke dalam politik. Paradigma pra-moden cenderung untuk mempolitikkan agama. Politik Islam dalam kasus ini mengambil bentuk pemunculan atau pembentukan   idea dan lembaga politik untuk menjustifikasi proses politik yang sedang berjalan.

Menjadikan dakwah sebagai alat politik  adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Dakwah harus diposisikan pada dimensi yang bebas dan tidak monopoli atau subsosial daripada lembaga atau kekuatan politik tertentu.  Sebaliknya,  dakwah harus menjadi bahagian dari berbagai pihak yaitu negara, organisasi, lembaga dan partai politik, dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran sejarah bahwa dakwah lebih tua usianya daripada politik dan dakwah bersifat universal.

Dakwah sebagai titah daripada Allah s.w.t. harus lebih abadi daripada masyarakat, budaya, politik bahkan negara. Oleh sebab itu, seharusnya politik yang dijadikan sebagai instrumen dakwah, bukan sebaliknya. Memang tidak ada asas naqli yang melarang mendirikan parti politik berdasarkan agama. Niat mendirikan partai politik untuk menegakkan agama adalah sesuatu yang sah. Namun kerena berbagai kepentingan yang bersifat duniawi, politik sering kali menyimpang daripada tujuan semula. Politik dengan sifat relativismenya mudah larut pada kepentingan sesaat, terutama untuk kepentingan  pemilih, sehingga keputusan politik sangat mementingkan konstituennya. Dengan kata lain, seorang  politikus  menjadi wakil daripada orang yang memilihnya. Sedangkan dalam dakwah, bukan kepentingan sasaran yang utama, tetapi nilai-nilai kebenaran yang bersumberkan al-Qur’an dan Sunnah yang harus disampaikan.

 

Dakwah Melalui Jalur Politik

Dakwah di ranah politik sebenarnya bukan sesuatu yang bid’ah dalam ajaran Islam. Rasulullah SAW dalam sejarah kenabian justru telah menginspirasikan bahwa dakwah di ranah politik merupakan sesuatu keniscayaan dalam peradaban Islam. Sejarah Makkah adalah sejarah dakwah kaum muslimin di masa perjuangan (elite in waiting). Pada masa ini, Rasullullah SAW mengajarkan bagaimana melakukan pembangunan basis, konsolidasi kekuatan, dan diplomasi non-konfrontatif, yang kesemuanya merupakan agenda dakwah dalam arena politik kaum muslimin.

Sejarah Madinah adalah sejarah dakwah kaum muslimin di dunia politik penguasa (ruling elite). Bagaimana pada masa itu komunitas masyarakat muslim menghimpun kekuasaan dalam Negara Madinah dan membentuk Masyarakat Madani. Pada masa itu, Rasulullah SAW menjalankan peran sebagai pemimpin kaum muslimin. Menjalankan aktifitas politik dan kekuasaan, mengelola masyarakat, membangun tapal batas kekuasaan, menjalin diplomasi dengan negara tetangga, dan bahkan melakukan perang sebagai konstelasi kedaulatan yang didasarkan pada ajaran Islam. Kesemuanya itu juga merupakan aktifitas politik.

Reformasi merupakan momentum titik balik kedua dari bangsa Indonesia, pasca hegemoni kekuasaan Orde Baru. Reformasi membuka kembali aktifisme politik dari masyarakat Indonesia yang bebas dari intervensi kekuasaan fisik (militer). Momentum ini sudah semestinya mampu dimaksimalkan oleh kaum muslimin, sebagai bagian dari sarana dakwah yang sangat strategis.

Mohamad Natsir pernah mengungkapkan bahwa al-Qur’an tidak memiliki tangan dan kaki untuk menegakkan hukum-hukum yang disyariatkannya. Karenanya, kaum muslimin harus mampu mengendalikan kekuasaan untuk dapat menjalankan hukum-hukum al-Qur’an guna membangun masyarakat yang beriman. Di sini, tidak ada jalan lain untuk menggapai kekuasaan, melainkan dengan terjun dan memenangkan ranah politik di Indonesia.

Islam adalah kebaikan, karenanya untuk memenangkan Islam haruslah dengan jalan-jalan kebaikan pula. Reformasi membawa bangsa Indonesia ke alam demokrasi, yang membuka partisipasi semua masyarakat untuk berkontestasi dalam ranah politik secara damai. Kondisi ini merupakan sebuah kebaikan bagi jalan dakwah di Indonesia. Tinggal bagaimana para kader dakwah untuk bisa memanfaatkan demokrasi ini sebagai sarana berdakwah secara optimal bagi masyarakat dan negara.

Sarana partisipasi dalam demokrasi Indonesia memperkenankan partai politik sebagai saluran aspirasi formal menuju tangga kekuasaan. Karenanya, adalah sebuah keniscayaan bagi dakwah untuk berpartisipasi dalam partai politik sebagai sarana legal-formal-wajar dalam menyuarakan aspirasi ummat dan agenda dakwah; di samping juga untuk dapat mewarnai konstelasi kekuasaan yang ada, sehingga tidak terus dihegemoni oleh politisi busuk dan korup.

Partisipasi dakwah dalam politik merupakan sebuah agenda yang sangat strategis. Ketika dakwah mampu menguasai politik, maka dapat dengan mudah, kebijakan-kebijakan kenegaraan dapat disinergikan dengan tujuan dakwah itu sendiri. Membuat kebijakan yang sesuai dengan agenda dakwah dipastikan memiliki efektifitas yang tinggi untuk dapat mewarnai masyarakat, memerintahkan masyarakat untuk berbuat kebaikan yang teratur dan formal serta melarang masyarakat untuk berbuat kemaksiatan dan kerusakan. Karenanya, implementasi amar ma’ruf nahi munkar dapat disokong dengan kekuasaan yang mengikat.

Dakwah melalui jalur politik juga memberikan implikasi positif bagi arena kekuasaan di Indonesia. Selama ini, orientasi penguasa, sejak periode kemerdekaan hingga saat ini, sering kali mengabaikan aspirasi kaum muslimin. Mayoritas kaum muslimin di negeri ini, menjadi bagian besar yang terpinggirkan dari agenda-agenda pembangunan nasional. Dapat dipastikan dalam realitas saat ini, kaum muslimin Indonesia identik dengan keterbelakangan dan jauh dari kondisi ideal sebagai masyarakat mayoritas di negeri yang makmur.

Dakwah melalui politik diharapkan dapat membentengi kaum muslimin dari kerusakan. Selama ini, kaum muslimin terus didera dengan berbagai problematika yang kompleks. Kemiskinan, kebodohan, perpecahan, moralitas yang rusak, dan berbagai kerusakan sosial seakan menjadi bagian dari dinamika kaum muslimin di Indonesia. Dengan kekuasaan yang diraih melalui kontestasi politik, maka dakwah dapat membuat kebijakan yang solutif atas problem keumatan tersebut.

Aktifitas dakwah dalam politik diharapkan mampu membawa kembali makna netral akan hakikat politik sebagai wadah konstelasi kekuasaan. Sehingga, tidak ada lagi para penguasa yang tenang membangun dinasti kekuasaan yang zhalim di Indonesia, negeri mayoritas muslim. Namun, yang ada adalah Indonesia sebagai negeri kaum muslimin yang senantiasa dirahmati dan diberkahi oleh Allah SWT, sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.***

 

Daftar Pustaka dan Bahan Bacaan

 

1.      Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim. Yogyakarta: Sipress, 1993.

2.      Abdullah, Dakwah Kultural dan Struktural: Telaah Pemikiran dan Perjuangan Dakwah HAMKA dan M. Natsir. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2012.

3.      Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

4.      Ali Mahfuzh, Hidayah al-Mursyidin,Al-Qahirah: Dar al-Kitabah, 1952.

5.      Ayi Sofyan, Etika Politik Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2012.

6.      Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

7.      Eggi Sudjana, Islam Fungsional, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2008.

8.      Firmansyah, Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

9.      Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jz. 17. Al-Qahirah: al-Musasah  al-Misriyah, tt.

10.  J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

11.  Jumah Amin Abd al-‘Aziz, Fiqh-Dakwah. (Terj.) Abdus Salam Masykur. Solo: Citra Islami Press, 1997.

12.  Khamami Zada, Islam Radikal: Pergumulan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: TERAJU, 2002.

13.  Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.

14.  M. Jakfar Puteh dan Saifullah (ed), Dakwah Tekstual Dan Kontekstual; Peran dan Fungsinya dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

15.  Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam. Jakarta: Paramadina, 2009.

16.  Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik,(Jakarta, PT. Gramedia, 1992.

17.  Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

18.  Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, Pemikiran Politik Kontemporer Al-Ikhwan Al-Muslimun : Studi Analitis, Observatif, Dokumentatif, Solo: Era Intermedia, 2003.

 

19.  Yusuf al Qardawiy, Anatomi Masyarakat Islam. (Terj.) Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993.