Hakikat Iedul Fitri
*Abu Hanin
Idul Fitri bagi sebagian masyarakat Indonesia memiliki arti yang sangat sakral sehingga jauh-jauh hari dia sudah mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangannya, mulai dari mudik ke kampung halaman, mempersiapkan pakaian baru untuk bersilaturahim, melengkapi perabot rumah agar ia menjadi indah ketika tamu berkunjung, dan menyiapkan beraneka ragam makanan dan minuman.
Namun sebagian orang ada yang terlalu memaksakan diri untuk mewujudkan hal tersebut walaupun di luar batas kemampuannya, bahkan tidak jarang berujung pada terganggunya hubungan dengan pasangan.
Waktunya banyak terkuras untuk mempersiapkan lebaran, sehingga menjadikan Ramadhan hanya sebagai sebuah rutinitas belaka tanpa menyadari akan hakikat dan keistimewaan bulan suci Ramadhan yang hanya hadir sekali dalam satu tahun.
Sebagian orang merasa kurang afdhal jika tidak memakai atau menggunakan sesuatu yang baru di saat lebaran, padahal lebaran Idul Fitri tidaklah melulu identik dengan sesuatu yang baru, tetapi sejatinya ia lebih pada kesucian jiwa dan rasa tulus kepada Allah dalam melaksanakan perintah-Nya.
Menyiapkan aneka makanan dan minuman di rumah ketika lebaran sah-sah saja dilakukan apabila dilandasi dengan niat yang tulus dan murni karena Allah. Tetapi jangan sampai memberatkan diri dan melampau batas serta menyimpang dari ajaran agama, misalnya karena ingin mendapat pujian dan sanjungan. Unsur riya‘ dengan memamerkan kekayaan, bersikap mubazir dan lain-lain merupakan sifat iblis yang harus dijauhi.
Menggapai kesucian
Idul Fitri bagi umat Islam merupakan hari bergembira dan hari kemenangan karena telah berhasil dalam menggapai kesucian sehingga kembali kepada keadaan fitrah, yang dalam konteks ini berarti kembali kepada asal kejadiannya yang suci dan mengikuti petunjuk Islam yang benar. Jadi, pengertian Idul Fitri ialah menjadi suci kembali seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya sebagaimana sabda Nabi saw:
“Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan suci.” Hal ini dapat terwujud apabila yang bersangkutan telah menunaikan ibadah puasa secara maksimal yang diiringi dengan ibadah lainnya berdasarkan keimanan dan semata-mata hanya karena mengharap ridha Allah.
Ramadhan sangat erat kaitannya dengan Idul Fitri karena ibadah puasa merupakan suatu proses berkesinambungan yang melatih manusia untuk memperoleh gelar muttaqin sehingga diibaratkan seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Maka wajar ia bergembira karena telah lulus dalam madrasah Ramadhan yang tetap menjiwai semangat Ramadhan di luar Ramadhan.
Orang-orang muttaqin tidak melokalisir kesalehan hanya di bulan Ramadhan, tetapi mereka membelenggu setan, nafsu dan menghambakan diri hanya kepada sang Khalik juga di luar Ramadhan. Selalu berusaha untuk menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Swt dan Rasul-Nya karena menyadari bahwa Allah itu benar-benar ada, Maha Melihat, dan pertolongan-Nya itu dekat dan benar-benar siksa-Nya itu berat.
Dengan demikian, selalu berusaha untuk berakhlak mulia semenjak kecil, seperti menghargai orang tua, guru, teman, dengan tidak melakukan tawuran di sekolah, ketika menempuh ujian tidak melakukan kecurangan, tidak memalsukan gelar dan ijazah, tidak mencorat coret baju seragam ketika lulus karena ini merupakan sikap mubazir yang bertentangan dengan nilai-nilai ramadhan, tetapi banyak melakukan hal baik, seperti melakukan sujud syukur, shalat, mengaji dan lain sebagainya.
Mereka menjadi hamba yang saleh karena selalu merasakan kehadiran Allah dalam jiwanya sepanjang masa, sepanjang usia, sampai Allah mencabut nyawa mereka.
Sudah menjadi tradisi yang mengakar di Indonesia apabila lebaran Idul Fitri tiba, pada umumnya masyarakat saling bersilaturahim antar sesama. Tradisi seperti ini dinilai sesuatu yang baik dan mulia sebagaimana sabda Nabi saw:
“Barang siapa yang menginginkan kelapangan rezeki dan keberkahan usia, maka hendaklah dia menjalin silaturahim.” Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata shilat dan rahim.
Kata shilat berarti “menyambung”, dan “menghimpun”. Ini berarti bahwa hanya yang putus dan yang terseraklah yang dituju oleh kata shilat. Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti “kasih sayang” kemudian berkembang sehingga berarti pula “peranakan” (kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.
Dengan demikian, hakikat dari silaturahim bukan hanya sekadar berjabat tangan ataupun kunjungan yang bersifat formalitas, tetapi apabila kunjungan tersebut dapat membawa nuansa ukhuwah yang mencairkan suasana beku dan menjernihkan apa yang keruh sehingga jiwa menjadi bening dan suci laksana embun di pagi hari, sebagaimana sabda Nabi saw:
“Tidak bersilaturahim (namanya) orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi (yang dinamakan bersilaturahim adalah) yang menyambung apa yang putus.”
Dalam Idul Fitri, silaturahim dan saling memaafkan sangat dianjurkan sebagai isyarat peluntur dosa. Namun hal itu sejatinya tidak hanya dapat dilakukan pada saat Idul Fitri tetapi bisa dilakukan kapan saja tanpa menunggu moment-moment tertentu seperti idil fitri.
Salah satu cara bersilaturahim adalah dengan diperintahkannya shalat berjamaah setiap hari, karena shalat berjamaah merupakan pertemuan sesama umat Islam untuk saling menjalin rasa persaudaraan. Pada saat itulah kita saling bertukar pikiran mengenai masalah-masalah yang dihadapi, maupun masalah yang menyangkut kepentingan bangsa.
Harapan dan doa
Satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri adalah “minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin”. Minal aidzin berarti (semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah, yakni “asal kejadian”, atau “kesucian”, atau “agama yang benar”.
Sedangkan al-faidzin berarti “keberuntungan”. Dan ini harus dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah Swt sehingga kita semua mendapatkan kenikmatan surga-Nya. Kemudian kata maaf berasal dari bahasa Alquran al-afwu yang berarti “menghapus”, karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Dan bukanlah memaafkan namanya, apabila masih ada tersisa bekas luka itu di dalam hati dan rasa dendam yang membara.
Alquran yang berbicara tentang pemaafan semuanya dikemukakan tanpa adanya usaha terlebih dulu dari orang yang bersalah (lihat QS. Ali Imran: 152 dan 155, Al-Maidah: 95 dan 101). Dalam beberapa ayat ini tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf. Allah berfirman: “Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada. Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah?” (QS. an-Nur: 22).
Kesan yang disampaikan oleh ayat di atas adalah anjuran untuk tidak menanti permohonan maaf dari orang yang bersalah, melainkan hendaknya memberi maaf sebelum diminta. Mereka yang enggan memberi maaf pada hakikatnya enggan memperoleh pengampunan dari Allah Swt. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk berkata: “tiada maaf bagimu”, karena segalanya telah dijamin dan ditanggung oleh Allah Swt (Quraish Shihab, 2013).
Beberapa ayat Alquran yang mengupas mengenai maaf sering beriringan dengan kata as-shafht. Dan berjabat tangan dalam bahasa Arab disebut dengan mushafahat yaitu lambang kesediaan seseorang untuk membuka lembaran baru, dan tidak mengingat atau menggunakan lagi lembaran lama.
Sebab, walaupun kesalahan telah dihapus, kadang-kadang masih saja ada kekusutan masalah. Memaafkan kesalahan adalah satu sifat terpuji. Bahkan Rasulullah telah mempergunakan sifat pemaaf ini dalam menghadapi kawan dan lawan, dan ternyata memaafkan kesalahan itu menyebabkan orang banyak masuk Islam. Jadi, marilah kita saling berlapang dada, mengulurkan tangan dan saling mengucapkan minal aidzin wal faidzin. Semoga kita dapat kembali menemukan jati diri kita dan semoga kita memperoleh ampunan, ridha dan kenikmatan surgawi. Amin