Memaknai Perbedaan 1 Ramadhan 1443 H

Oleh: Mohammad Hasyim*

 

Bismillahirrahmanirrahim..

Pemerintah RI melalui Menteri Agama H. Yaqut Cholil Qoumas mengumumkan bahwa 1 Ramadhan 1443 H jatuh pada hari Ahad 3 April 2022. Hal ini didasarkan pada hasil sidang isbath yang dikonfirmasi melalui pengamatan hilal atau rukyatul hilal bahwa hilal masih belum terlihat dari 101 titik rukyat di seluruh Indonesia.

Hasil sidang isbath ini berbeda dengan keputusan sejumlah ormas Islam seperti Muhammadiyah, yang menetapkan 1 Ramadhan 1443 H jatuh pada hari Sabtu 2 April 2022. Penetapan 1 Ramadhan 1443 H pada hari Sabtu 2 April 2022 diumumkan sesuai dengan Maklumat PP Muhammadiyah No. 01/MLM/1.0/2022.

Namun demikian, perbedaan dalam menetapkan 1 Ramadhan 1443 H tentunya tidak boleh mengurangi nilai ukhuwah di antara sesama umat Islam yang ada di Indonesia. Apalagi perbedaan dalam menetapkan 1 Ramadhan juga pernah terjadi di Indonesia, seperti pada tahun 1434 H/2013 M dan 1435 H/2014 H.[1]

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Abdullah Zaidi berpendapat bahwa perbedaan dalam menetapkan 1 Ramadhan 1443 H tidak perlu dipertentangkan. Dia mempersilakan kaum Muslimin yang mau menunaikan puasa 1 Ramadhan pada Sabtu 2 April 2022 atau pada Ahad 3 April 2022.

“Kita boleh berbeda, tetapi kita harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan kita, terutama di saat kita melaksanakan ibadah yang mahasuci, ibadah Ramadhan yang penuh berkah, penuh rahmat ini,” ujarnya saat mendampingi Menteri Agama RI mengumumkan penetapan 1 Ramadhan 1443 H.

Dia pun mengajak semua umat Islam di seluruh Indonesia untuk menghindari perselisihan. Karena pada dasarnya perbedaan adalah rahmat. “Tentu selama kita menyatukan hati kita bersama-sama untuk membangun bangsa dan negara ini,” demikian KH. Abdullah Zaidi.[2]

Dalam hal perbedaan atau ikhtilaf, ada beberapa sikap yang dapat dipedomani oleh umat Islam untuk menyikapi perbedaan tersebut, sebagaimana yang dilansir oleh suaramuslim.net berikut ini:[3]

1.    Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlak secara proporsional. Karena tanpa perpaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.

2.    Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar umat daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.

3.    Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi umat. Dan ini adalah salah satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama ini dikenal luas sebagai hadits, yakni yang berbunyi “Ikhtilafu ummati rahmatun (perselisihan ummatku adalah rahmat)”, bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karenanya bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi umat itu. Namun dasarnya adalah warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam masalah ini.

4.    Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu, dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf, serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau pendapat).

5.    Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para ulama maupun para thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja pada para imam terpercaya atau ulama yang diakui kredibilitas dan kapabilitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada siapa saja yang dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak berdasarkan hawa nafsu.

6.    Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal-individual, masing-masing berhak untuk mengikuti dan mengamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” – keluar dan lepas dari wilayah khilafiyah adalah sangat dianjurkan).

7.    Sementara terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah & tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal-individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tingkat kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun.

8.    Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak Islami, tidak syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan manhaj dan sikap para ulama salaf).

9.    Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah.

10. Tidak menerapkan prinsip atau kaidah wala’ dan bara’ dalam bersikap terhadap fenomena ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Karena bab wala’ dan bara’ bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.

11. Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’)—dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah)—sebagai standar dan parameter komitmen dan keistiqamahan seorang Muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya menilai seseorang itu istiqamah atau tidak berdasarkan standar masalah-masalah khilafiyah.

12. Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati karena dapat mengakibatkan perselisihan-perpecahan (ikhtilafut-tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.

13. Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut madzhab lain sesuai kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin diperlakukan dan disikapi, serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau madzhab-mu.

14. Menyikapi dan memperlakukan praktik penganut, pengikut atau pemilih madzhab lain berdasarkan sudut pandang madzhab yang bersangkutan, dan bukan berdasarkan sudut pandang madzhab kita yang tentu saja berbeda dan bahkan bertentangan dengannya.

Karena hanya dengan prinsip dan cara pandang seperti itulah, kita bisa menerima perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah, sekaligus dapat menjelaskan sikap toleransi dan kompromi para ulama salaf, bahkan sampai pada tingkat kesiapan mereka—dalam kondisi tertentu—untuk “mengalah” dan mengikuti pendapat atau madzhab lain seperti dalam beberapa contoh di atas. Wallahualam bisawab!***

 

*Pengurus DKM Baitu Izzah



[1] https://news.detik.com/berita/d-6012300/awal-ramadan-2022-beda-kondisi-serupa-terakhir-terjadi-tahun-2014

[2] https://news.detik.com/berita/d-6012257/mui-perbedaan-1-ramadan-dengan-muhammadiyah-tak-kurangi-arti-kebersamaan?_ga=2.248749262.817318664.1648869359-1901910421.1633496082

[3] https://suaramuslim.net/14-sikap-dalam-menyikapi-suatu-perbedaan-khilafiyah/